Jumat, 01 Mei 2015

MATERI 8/9 : Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

NAMA:ANDREAS VALENTINUS
KELAS : 1EB18
NPM:21214137
Tugas Softskill Gunadarma

Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

8/9.2 PERUBAHAN PENERIMAAN DAERAH(APBD) DAN PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PAD


PERUBAHAN PENERIMAAN DAERAH(APBD)
Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD…
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.

 1. Perubahan atas pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena
(a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran,
(b) perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan
 (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.
2. Perubahan atas alokasi anggaran belanja merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja langsung
3. Perubahan dalam pembiayaan terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat penyusunan APBD harus direvisi. Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).
SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.

PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PAD


    Pada masa sekarang ini dimana telah diterapkannya system otonomi daerah yang memberikan kebebas kepada setiap daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, telah membuat suatu perubahan yang mendasar bagi system pemerintahan yang dulunya menganut system sentralisasi menjadi systemdesentralisasi.dimana pemerintahan daerah mengatur sendiri administarasi keuangannya. Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat berperan dalam mendukung kemajuan suatu daerah. Oleh sebab itu pemerintahan harus bersikap bijak dalam menetapkan PDA terutama mengenai pajak dan retribusi daerah, agar sumber daya yang ada dapat termanfaatkan dengan maksimal untuk kepentingan bersama (bukan kepentingan orang-orang tertentu karena sebagian besar pendapatan merupakan berasal dari pajak). Dalam Kebijakan mengenai pungutan pajak daerah telah diatur berdasarkan Perda, yang diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat. Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak sesuai dengan fungsinya. Yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak atas rokok, pajak atas minuman keras, pajak ekspor, pajak atas barang mewah dan sebagainya.
Dengan demikian, Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.
2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu“mobile”. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang.
3. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
4. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar.
5. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data.
6. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan.
Pajak daerah berperan serta dalam membiayai pembangun daerah, tampa adanya pajak daerah, maka kebutuhan akan dana untuk pembangunan akan sulit untuk di penuhi karena kita tahu bahwa sebagian besar pendapatan Negara kita adalah berasal dari pajak yaitu sekitar 75 %. Oleh sebab itu permasalahan tentang pajak ini harus ditangani secara tepat agar iuran pajak ataupun reetribusi daerah dapat dimanfaatkan dengan baik. Misalkan kita ketahui sekarang ini dikota Pontianak Pajak khususnya mengenai masalah perparkiran yang merupakan salah satu retribusi daerah yang dapat diandalkan, namun kenyataannya perparkiran di kota Pontianak sekarang ini tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintahan Daerah, sehingga hal ini hanya menguntungkan petugas perparkiran saja. Misalkan contohnya setiap kali parkir apakah ada bukti pembayaran parkir yang kita terima dari petugas parkir ?, hal ini membuktikan bahwa tidak adanya manajemen yang baik dari pihak Pemerintah mengenai hal ini. Ada juga petugas parkir yang menetapkan biaya parkir tidak sesuai dengan tariff parkir yang ditetapkan misalkan, tarif parkir ditetapkan Rp 500, tetapi adapetugas parkir yang menarik biaya parkir Rp 1.000 bahkan sampai Rp2.000.
Jika kita melihat pungutan pajak daerah maupun retribusi daerah yang ada sekarang ini masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan karena :

a. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
b. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
c. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
d. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
e. Belum luasnya basis penerimaan
f. Adanya semacam ketidak jelasan proses pemungutan
g. Rendahnya pengawasan oleh pihak pemerintah

Sumber referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar